On Jumat, 02 November 2012 0 komentar


hai semua,jumpa lagi dengan saya sofia pilosusan,ini contoh-contoh soal mengenai MONERA,ni sih gak saya yang buat,tapi saya share2 aja,semoga bermanfaat aja :)


1. Kelompok bakteri yang mendapat julukan ”nenek moyang bakteri” adalah ….J
a.
ArchaeobacteriaJ
b. Eubacteria
c. Cyanobacteria
d. bakteri ungu
e. bakteri biru
2. Golongan bakteri yang umum ditemukan di alam adalah ….
a. Archaeobacteria
b. Eubacteria
c. Cyanobacteria
d. bakteri ungu
e. bakteri biru
3. Bakteri dapat melakukan reproduksi secara seksual dengan cara ….
a. membentuk spora
b. konjugasi
c. pembelahan biner
d. fragmentasi
e. proliferasi
4. Di bawah ini yang bukan merupakan ciri dari kingdom Monera adalah ….
a. selnya prokariot
b. tidak memiliki organel sel
c. tidak memiliki membran inti
d. berkembang biak secara mitosis
e. selnya eukariot
5. Ani mengamati ganggang biru. Dari pengamatannya, dia menemukan tanda-tanda ganggang biru sebagai berikut: dapat bergerak, berbentuk benang, dan mempunyai sel yang pipih. Dengan demikian, dia berkesimpulan bahwa ganggang biru ini adalah ….
a. Ochromonas
b. Nostoc
c. Oscillatoria
d. Anabaena
e. Chroococcus
6. Bakteri yang dapat menambat nitrogen di udara adalah ….
a. Oscillatoria sp.
b. Nostoc linckii
c. Rivularia sp.
d. Stigonema sp.
e. Eleocapsa
7. Persenyawaan antara polisakarida dan protein yang merupakan penyusun dinding sel bakteri disebut ….
a. mikrobakteri
b. bakteriofag
c. peptidoglikon
d. makrobakteri
e. makrobakteriofag
8. Proses menempelnya dua sel untuk memindahkan materi genetik antara kedua sel itu disebut ….
a. fertililisasi
b. injeksi
c. perakitan
d. konjugasi
e. adsorpsi
9. Bakteri yang mampu mengubah bahan anorganik menjadi bahan organik yang diperlukan oleh tubuh disebut bakteri ….
a. bakteri autotrof
b. bakteri heterotrof
c. bakteri aerob
d. bakteri anaerob
e. bakteri gram negatif
10. Makhluk hidup yang tidak dapat membuat makanan sendiri sehingga bahan makanan diperoleh dari makhluk hidup lain atau lingkungannya adalah ….
a. autotrof
b. heterotrof
c. aerob
d. anaerob
e. bakteri
11. Proses pernapasan bakteri yang menggunakan oksigen bebas atau udara untuk pernapasannya dilakukan oleh ….
a. autotrof
b. heterotrof
c. aerob
d. anaerob
e. bakteri gram negatif
12. Proses pernapasan bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas atau udara untuk pernapasannya dilakukan oleh ….
a. bakteri autotrof
b. bakteri heterotrof
c. bakteri aerob
d. bakteri anaerob
e. bakteri gram negatif
13. Bakteri gram positif termasuk dalam kelompok ….
a. Eubacteria
b. Archaeobacteria
c. Protista
d. Fungi
e. Monera
14. Ganggang biru berkembang biak dengan fragmentasi dan pembentukan spora yang dilakukan dengan cara ….
a. pembelahan sel
b. konjugasi
c. fragmentasi
d. pembentukan spora
e. pendinginan
15. Membebaskan alat dan bahan makanan dari mikroorganisme dapat dilakukan ….
a. perebusan
b. pencucian
c. sterilisasi
d. pemanasan
e. pendinginan
16. Berikut ini yang tidak termasuk kelompok Achaebacteria adalah ….
a. bakteri metanogen
b. halobakteri
c. bakteri termo-asidofil
d. bakteriofag
e. halobakteriofag
17. Cara reproduksi yang tidak dilakukan oleh ganggang biru adalah ….
a. fragmentasi
b. membentuk spora
c. pembentukan kuncup
d. pembelahan
e. perkawinan
18. Salah satu Eubacteria yang dapat hidup di tempat lembap, di atas tanah, tembok, sawah, parit, atau laut, serta mempunyai klorofil a untuk fotosintesis dan fikosianin adalah….
a. ganggang merah
b. ganggang biru
c. ganggang hijau
d. ganggang pirang
e. ganggang cokelat
19. Ciri yang paling membedakan antara bakteri dan ganggang biru adalah …
a. bakteri dapat melakukan pembelahan sel, ganggang biru tidak
b. bakteri tidak memiliki membran inti, ganggang biru memiliki membran inti
c. bakteri umumnya bersifat heterotrof, ganggang biru bersifat autotrof
d. bakteri hidup bersimbiosis, ganggang biru tidak
e. bakteri tidak bergerak, ganggang biru bergerak
20. Bakteri dengan flagel menyebar di seluruh permukaan sel disebut …
a. subpolar
b. lofotrik
c. monorik
d. peritrik
e. lisotrik
II. Pilihlah!
A. Jika (1), (2), dan (3) yang benar
B. Jika (1) dan (3) yang benar
C. Jika (2) dan (4) yang benar
D. Jika (4) saja yang benar
E. Jika semuanya salah
1. Berikut ini yang tidak termasuk filum Eubacteria adalah ….
(1) Cyanobacteria (3) bakteri gram positif
(2) Spirochetes (4) bakteri merah
2. Tahapan yang tidak terjadi pada siklus litik adalah ….
(1) kelas Rhizobiaceae (3) kelas Micrococcaceae
(2) kelas Zotobacteraceae (4) kelas Enterobacteriaceae
3. Berikut ini yang bukan merupakan bentuk bakteri adalah ….
(1) bersel banyak
(2) bersel satu
(3) berbentuk benang serabut
(4) berukuran sangat kecil kira-kira 0,1 m – 100 m
4. Sel yang mampu berfotosintesis untuk memperoleh makanannya dengan bantuan cahaya matahari disebut sel ….
(1) autotrof (3) kemoautotrof
(2) heterotrof (4) fotoautotrof
5. Pernyataan tentang bakteri yang benar adalah ….
(1) berplastida
(2) inti bermembran inti
(3) sitoplasma mengandung RNA
(4) protoplas tidak bermembran
6. Berikut ini yang bukan merupakan bentuk bakteri adalah ….
(1) batang (3) spiral
(2) bola (4) kotak
7. Ganggang biru yang merugikan adalah ….
(1) Anabaena flosaquae (3) Microcytis
(2) Gloeocapsa (4) Nostoc
8. Ganggang biru yang menguntungkan adalah ….
(1) Anabaena flosaquae (3) Microcytis
(2) Gloeocapsa (4) Nostoc
9. Bakteri penyebab penyakit sifilis adalah ….
(1) Mycrobacterium (3) Shigella
(2) Diploccocus (4) Treponema pollidium
10. Bakteri yang hidup di usus besar manusia adalah ….
(1) Mycrobacterium (3) Shigella
(2) Diploccocus (4) Treponema pollidium
III. Jawablah dengan singkat dan jelas!
1. Sebutkan perbedaan Archaebacteria dan Eubacteria!
2. Sebutkan ciri-ciri Cyanobacteria!
3. Sebutkan beberapa filum yang termasuk dalam Eubacteria!
4. Jelaskan cara bakteri berkembang biak!
5. Jelaskan hal-hal yang berhubungan dengan makhluk hidup prokariot!
Kunci Jawaban
I.
1.A     6.B      11.C      16.D
2.B      7.C      12.D      17.E
3.B      8.D      13.A      18.B
4.E      9.A      14.B      19.C
5.C     10.B     15.C     20.D


1. Perhatikan pernyataan berikut:
1). perbedaan materi penyusun membran inti
2). perbedaan jenis lipid penyusun membran plasma
3). perbedaan materi penyusun dinding sel
4). ada tidaknya protein ribosom dan RNA polimerase
Pernyataan di atas yang menjadi ciri pembeda antara Archaebacteria dan Bacteria adalah….
A. 1 dan 3
B. 2 dan 3
C. 2 dan 4
D. 1 dan4******
E. 4 saja
Pembahasan:
Archaebacteria dan Bacteria memiliki perbedaan ciri sebagai berikut:
1). Lipid membran pada Archaebacteria tersusun dari hidrokarbon bercabang, sedangkan pada Bacteria hidrokarbon tak bercabang.
2). Dinding sel pada Bacteria mengandung peptidoglikan, sedangkan pada Archaebacteria tidak.
3). Protein ribosom dan RNA polimerase pada Archaebacteria sama dengan eukariota, sedangkan pada Bacteria berbeda dengan eukariota.
4). Beberapa gen Archaebacteria memiliki intron, sedangkan Bacteria tidak.
Jawab: B
2. Bakteri yang mampu membentuk senyawa organik dari zat-zat anorganik dengan menggunakan energi kimia disebut bakteri ….
A. fotoautotrof
B. patogen
C. kemoautotrof
D. aerob
E. anaerob
Pembahasan:
Bakteri yang mampu membentuk (mensintesis) senyawa organik dari zat anorganik dengan menggunakan energi kimia disebut bakteri kemoautotrof. Bakteri kemoautotrof mampu melakukan proses kemosintesis. Kemosintesis merupakan proses asimilasi karbon yang energinya berasal dari reaksi-reaksi kimia. Proses ini tidak memerlukan klorofil dan cahaya. Bakteri kemoautotrof akan mengoksidasi senyawa-senyawa tertentu dan energi yang dihasilkan digunakan untuk asimilasi karbon. Dengan demikian, bakteri kemoautotrof ini dapat mensintesis makanannya sendiri dengan sumber energi hasil reaksi kimia.
Contoh bakteri kemoautotrof adalah bakteri nitrit (Nitrosomonas dan Nitrosococcus), bakteri nitrat (Nitrobacter), dan bakteri belerang (Beggiatoa alba).

Jawab: C
3. Cyanobacteria (ganggang hijaubiru) mempunyai peranan sebagai vegetasi perintis karena dapat ….
A. mengikat N2 dari udara
B. membuka kehidupan bagi makhluk hidup lain
C. bersimbiosis dengan tanaman tingkat tinggi
D. membentuk endapan jika mati
E. hidup di tempat basah dan di air
Pembahasan:
Cyanobacteria (ganggang hijaubiru) berperan sebagai vegetasi perintis (pionir) yang memberikan kemungkinan hidup bagi organisme lain di tempat yang sulit untuk dijadikan tempat hidup. Hal ini karena ganggang hijau-biru mampu hidup di tempat organisme lain tidak bisa hidup, seperti batu-batuan, sumber air panas dengan suhu mencapai 85°C, dan di perairan yang tercemar. Ganggang ini mempunyai toleransi yang besar terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut.
Sebagai contoh, setelah terjadi letusan gunung berapi semua organisme di tempat itu musnah. Tumbuhan pertama yang hidup pada tempat itu adalah vegetasi perintis, yaitu lumut kerak dan ganggang hijau-biru, yang akan melapukkan batuan sehingga terbentuk tanah. Apabila hujan, tanah akan mengikat air sehingga dapat ditumbuhi lumut. Beberapa tahun kemudian, tumbuh semak-semak atau pohon. Dengan demikian, ganggang hijau-biru berperan sebagai vegetasi perintis karena dapat membuka kehidupan bagi makhluk hidup lainnya.
Jawab: B
4. Bakteri nitrifikasi tumbuh subur di tanah yang ….
A. gembur dan penuh bahan organik
B. liat dan penuh bahan organik
C. gembur dan penuh bahan anorganik
D. liat dan penuh bahan anorganik
E. liat dan gembur penuh bahan anorganik
Pnnbahasan:
Bakteri nitrifikasi adalah bakteri yang membantu proses pembentukan senyawa nitrat dalam tanah. Bakteri nitrifikasi merupakan bakteri aerob, yaitu membutuhkan oksigen untuk hidupnya.
Oksigen ini akan digunakan oleh bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi senyawa amonia dan asam nitrit. Energi hasil oksidasi tersebut akan dimanfaatkan untuk asimilasi karbon. Dengan demikian, bakteri ini bersifat kemoautotrof.
Tanah yang kaya akan oksigen uumnya adalah tanah yang gembur sebab ikatan molekul-molekul tanahnya lebih renggang daripada tanah yang liat. Maka bakteri nitrifikasi hidup dengan subur pada tanah yang gembur dan penuh bahan anorganik.
Jawab: C
5. Proses berikut ini merupakan cara mengawetkan makanan agar tidak mudah busuk akibat bakteri kecuali ….
A. pasteurisasi
B. diberi garam (diasinkan)
C. dibekukan
D. diberi air
E. dikeringkan
Pembahasan:
Makanan mudah rusak (busuk) akibat terkontaminasi bakteri. Bakteri ini umumnya hanya hidup dalam kisaran kondisi yang tidak ekstrem. Beberapa cara dapat dilakukan agar bahan makanan tidak dijadikan tempat hidup bakteri, sehingga makanan dapat awet.
Makanan dapat diawetkan misalnya dengan diberi garam (ikan asin), diberi gula (dodol), diberi asam (acar), dikeringkan (kerupuk), dibekukan (daging beku, dimasukkan freezer), dipanaskan (susu, pemanasan pada suhu 70°C selama 15 menit yang dikenal sebagai pasteurisasi), dikalengkan dan diberi bahan pengawet asam benzoat (ikan sarden, kornet).
Jawab: D
Read more ...»

On Rabu, 19 Oktober 2011 0 komentar

Peradilan Rakyat

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***
Read more ...»

On Rabu, 11 Mei 2005 1 komentar

 Hayoo… mandengin sopo?!!”
Gertakan sekaligus sebuah sindiran dari Setyo, membuatku sadar dari lamunan & tasbih sesaatku. Ingin marah rasanya, karna dia telah mengusik indahnya pesona senja saat itu. Yang kemolekannya begitu nyata ditambah hadirnya sesosok manis yang telah mencuri hatiku belakangan ini.
Ya… gadis itulah yang sebenarnya ditanyakan Setyo sedari tadi. Gadis yang sering membuatku bertasbih dan beristighfar, agar Allah tetap menjaga hatiku yang lemah ini, dari pesona yang Ia titipkan pada salah seorang hamba-Nya.
Aku memang sering diam – diam memandanginya, dari kamarku yang terletak di lantai 3 gedung ini. Sebuah apartemen kelas ekonomi, yang mayoritas penghuninya adalah para karyawan dan mahasiswa sebuah universitas swasta yang cukup tenar di kota ini.
Begitu cantik dan mempesonakah ia? Mungkin secara fisik, itu relatif. Tiap orang berhak mengidentifikasikan & menilai berdasarkan pandangan mereka. Tetapi, yang jauh lebih membuatku kagum pada gadis ini adalah, penampilannya yang begitu mulia dan anggun dalam balutan busana muslimah yang menutup auratnya dengan sempurna. Berjilbab pun, seakan bukan penghalang baginya untuk tetap aktif dan lincah dalam beraktivitas. Seperti saat ini, dia yang begitu semangat berlari dan berlompatan ke sana kemari dengan sebuah raket di tangan kanannya. Dia berbeda. Hanya itu yang ada di benakku saat pertama kali mengenalnya, bahkan hingga kini.
“Kenapa gak langsung tembak aja, Wan? Siapa cepat, dia dapat lho... Setahuku banyak juga yang mengincar dia”, Setyo kembali membuyarkan lamunanku.

Ngawur kowe, Yo! Dia terlalu indah untuk tahu tentang rasa yang mungkin sesaat & belum tentu suci ini!”, entah kenapa ada sedikit gusar dan luapan emosi saat aku menanggapi pertanyaan Setyo tadi.

“Awan.. Awan...! Aku tuh sering bingung dengan jalan fikiranmu!”, ujar Setyo sambil berlalu pergi.

Kamu memang gak ngerti Yo.. bahkan mungkin tidak akan pernah mengerti tentang apa yang aku fikirkan & rasakan. Selama kamu selalu memandang & menilai sesuatu, hanya dari apa yang tampak sesaat. Tanpa mencoba menyelami & menemukan maknanya yang lebih dalam. Yang jelas, tidak! Tidak akan kubiarkan lisan dan seluruh indraku ini dengan lancang melakukan sesuatu yang bisa membuatnya tahu, bahwa hingga kini aku diam – diam mengaguminya. Sungguh tak ingin kusakiti dan kunodai hatinya... hati kami... dengan emosi sesaatku.

===== *** =====

Malam itu begitu indah. Bintang dan bulan berpadu membentuk lukisan menawan tentang angkasa. Kelip – kelip lampu jalan dan kendaraan yang lalu lalang, menambah ‘krasan’ seorang gadis untuk berlama – lama menikmati hobinya. Hampir tiap malam, Mega menghabiskan 2 hingga 3 jam dari waktunya untuk duduk di jendela kamarnya yang terletak di lantai teratas gedung tua ini. Semua tampak begitu menakjubkan dan indah dari atas sini. Baginya, alam di senja dan malam hari adalah klimaks dari siklus semesta, yang selalu bisa hadirkan rasa teduh dan nyaman di hatinya. Ditemani secarik kertas, sebuah pena, dan gitar kesayangannya, tak terhitung berapa buah karya dalam melodi yang ia ‘lahirkan’ setiap ia menjalani ritual panjang di tepian jendela kamarnya. Mega memang terkenal lihai dalam bersilat kata yang konotatif. Suka dan dukanya sering ia tuangkan dalam sebuah puisi dan syair. Belakangan, ia mulai mengasah otak kirinya dengan bermain – main bersama nada. Suaranya yang indah, sering dijadikan kawan – kawannya alat untuk melampiaskan hasrat dan suasana hati. Seperti malam itu, Mega pun sedang bersenandung tentang sebuah elegi kecil dalam sekelumit hidupnya.
Bukan kata & bukan apa yang terlihat mata,
Lain materi pun tak hanya puisi,
Yang menjaga ... dan menjaga ....
peduli hati, dan tak ingin nodai hati....

Sebait yang singkat itu terhenti, saat Ratna teman sekamarnya tiba – tiba duduk di sampingnya.
“Ga.. Andri nitip salam lagi tuh! Dia nanyain tentang surat yang dia kirim kemarin buat kamu.”

“Wa’alaikumussalam warohamtullah wabarokatuh... Ah, males, Na! Aku kurang suka berteman dengan orang yang suka menyombongkan dirinya”, Mega menanggapi sambil memainkan senar – senar gitarnya.

“Sebenarnya lelaki seperti apa yang kamu harapkan, Ga ? Fian, Angga, Satria, Andri... tak satupun yang kamu tanggepin. Apa benar kamu sudah punya seseorang?”

Dengan sesimpul senyumnya yang manis, Mega mencoba menjawab pertanyaan Ratna yang terakhir dengan bijak.
“Aku membenarkan jika ada yang bilang bahwa hidup ini terlalu singkat jika harus dilewati bersama pilihan yang salah, Na.. Dan aku gak mau salah dalam memilih. Yang kulihat, mereka semua sama, hanya mengutamakan emosi dan kepentingan sesaat.”

“Lalu yang kamu mau seperti apa, Ga?” Ratna masih dengan penasarannya.

“Yang jelas, dia yang bisa menjaga hatinya.. menjaga hatiku... Karna fitrahnya kasih sayang itu, tidak menjerumuskan,Na... Hehehe... gak ngerti lah! Wes, kita ganti topik aja!” Mega berusaha mengalihkan pembicaraan mereka, walau tampak jelas dari mimik wajahnya ada yang tertahan. Ya... ada yang dia sembunyikan, namun sebenarnya ingin terungkapkan.

=====***=====

Siang itu, Mega baru saja keluar dari ruang kelasnya. Mata kuliah Mekanika Rekayasa yang baru saja berlalu, membuatnya bersemangat untuk segera sampai di kamar sekaligus ruang kerjanya. Sang dosen sedang bermurah hari ini, karna tanpa segan ia memberikan setumpuk tugas yang harus segera dikumpulkan keesokan harinya. Belum lagi tugas GT (Gambar Teknik) dari seminggu lalu yang tak kunjung usai. Mega hanya bisa tersenyum menikmati semua ini. Ada sebuah harap dan cita – cita besar, yang slalu bisa membuatnya lupa sejenak dengan semua beban dan tanggungjawabnya.
Menjadi mahasiswi teknik sipil, memang bukan pilihannya. Amanat dari bapak yang sangat dicintainya, membuat ia harus rela melepaskan cita – citanya untuk menjadi seorang astronot. Kegilaannya dari kecil pada bintang, bulan, planet, dan benda – benda angkasa, sepertinya menjadi salah satu benih terkuat munculnya cita – cita itu.
“Bapak pengen kamu jadi arsitek, nduk.. Jadi insinyur hebat. Biar bisa bikin bangunan yang kokoh buat bangsamu ini.”

Ah... bicara tentang bapak. Sosoknya yang begitu sederhana namun sangat memegang teguh prinsip. Bapak bukan siapa – siapa, tapi ia begitu peduli tentang bangsa ini. Mega pun tak ragu memutuskan untuk mengamini harapan dan cita – cita bapak. Sekaligus wujud baktinya pada sosok yang ia idolakan itu.

Langkah gadis berjilbab katun hitam itu tertahan tatkala ia dapati langit tiba – tiba menangis dengan derasnya. Jika tak mengingat kertas – kertas bahan tugas yang bertumpuk di tas ransel abu – abunya, sudah pasti ia terjang hujan deras siang itu. Dan kini ia terduduk di lantai lobi kantor pusat, sambil menikmati melodi hujan dan wanginya aroma tanah. Tak jauh dari tempat Mega duduk bersila, ada sepasang mata yang walau sesekali menunduk, sedari tadi jelas mengamatinya. Sepasang mata yang pemiliknya sedang gelisah, bingung untuk melangkah. Lelaki itu tak lain adalah Awan. Dia tahu, ini bisa menjadi peluang emas baginya untuk mendekati gadis berjilbab yang terduduk di lantai ujung lobi sana. Sebuah jas hujan di dalam tasnya adalah senjata yang diyakininya saat ini sangat dibutuhkan Mega. Dan dia bisa alih – alih meminjamkan jas itu sembari mencuri perhatian dan simpatik dari Mega. Pergolakan hebat terjadi di hatinya, hingga ia memutuskan melakukan sesuatu...
“Mega! Pulang bareng yuk! Ini aku ada jas hujan dua. Kebetulan tadi ada teman yang balikin, habis dipinjem kemaren!”
“Eh, Rindang! Ndak ngerepotin? Kebetulan banget, aku juga butuh sampe rumah cepet nih!”
Mega dan Rindang pun, sukses menembus derasnya hujan dengan jas hujan penyelamat itu.

Sementara itu, di sebuah kamar di lantai 3 gedung apartemen tua, aku hanya bisa menggigil menikmati dingin yang hadir dari pakaian yang basah kuyup. Aku pun tak segera beranjak mengganti pakaian dan menghangatkan diri.
“Hujan – hujanan tah, Wan? Tumben gak bawa jas hujan?” Lagi – lagi Setyo membuyarkan lamunanku.
“Ora, Yo.. Jas hujanku tadi tak pinjemin temen.” kujawab dengan begitu datar. Ya... teman yang kukatakan tadi meminjam jas hujan, tak lain adalah Rindang. Aku sengaja ingin memberikan perhatian pada Mega dengan caraku sendiri. Yang menurutku tak akan berlebihan dan melemahkan siapapun. Tak sengaja, di tengah kegalauanku siang tadi tiba – tiba Rindang melintas. Aku pun menitipkan jas hujanku pada gadis itu, tentunya dengan pesan untuk tidak memberitahukan Mega tentang siapa pemiliknya. Ah... Rindang pasti akan menaruh curiga dan sedikit banyak tahu tentang perasaanku, sekalipun tadi aku sudah beralasan bahwa Mega adalah tipe orang yang pasti tidak mau jika aku atau temannya berkorban untuk dirinya. Biar sajalah, yang pasti aku sudah lega bisa kembali membantu Mega, walau selalu dengan cara yang sama. Sembunyi – sembunyi.
Benar – benar tak nyaman kondisi hatiku saat itu. Terhimpit dan tertekan antara naluri, nurani, dan ideologi. Apakah aku terlalu angkuh? Siapa pula yang tak ingin mengecap indahnya fitrah kasih sayang. Aku hanya takut... sangat takut. Aku yang lemah ini, tak bisa menjaga qalbu yang telah diamanahkan Allah untukku. Cukuplah mungkin saat ini, aku dan dia saling mengenal. Walau yang sering terjadi, aku lebih memilih menghindar dan seakan tak mau tahu setiap bertemu atau ada sesuatu yang berhubungan dengannya.

“Ndak cuma sekali aku mergokin kamu sering ngelamun akhir – akhir ini, Wan... Ada apa? Bidadari berjilbabmu itu lagi?”, Setyo yang akhir – akhir ini terkesan begitu menyebalkan, kembali mengusikku.
Aku tidak menanggapi pertanyaannya, dan lebih memilih mengeringkan rambutku yang basah dengan handuk biru kesayanganku.
“Oalah, Wan... sampe kapan kamu mau memendam perasaanmu ? Lakukan sesuatu lah, biar dia tahu. Inget, Wan.. lelaki itu berhak mencari dan memilih, nanti baru wanita yang memutuskan. ” Setyo terus nyerocos bak bapakku saja. Aku memilih bergeming.
“Tar keburu diambil orang, baru rasa kamu! Daripada kelamaan, nikahin aja sekalian! Bentar lagi kan kita sama - sama wisuda. Saat itu, temuin orang tuanya... langsung diminta! Piye?”
Dasar Setyo, tak pernah berubah. Paling suka bercakap tanpa berfikir lebih panjang. Aku pun hanya menanggapi semua yang dia sampaikan tadi sebagai lelucon dan isapan jempol.
Merasa tak digubris olehku, Setyo meninggalkan kamar. Di depan pintu, dia membalik badannya tiba – tiba, sambil menatapku tajam. Tatapan seorang lelaki. “Wan... aku tahu kamu berbeda dariku dan dari kebanyakan teman – teman kita yang laen. Aku tahu kamu ikhlas dan tulus padanya. Tapi kamu harus berani, Wan... Setidaknya buat ia tahu, itu saja..... Ojo sampe getun mburi....”

Setyo. Kuakui dia tlah menjadi lebih dari sekedar teman sekamar bagiku. Bersamanya selama 3,5 tahun ini, membuat kami saling mengenal dan memahami “dapur” masing – masing. Saat ini sepertinya memang dia yang paling tahu kondisiku. Tak kuingkari kejadian seperti siang tadi, terlampau sering kulakukan. Perhatian yang sengaja kuberikan secara sembunyi – sembunyi, demi menjaga semuanya. Aku tetap tak ingin Mega tahu saat ini tentang perasaanku yang sebenarnya. Tapi...
Ya Rabb.... aku harus bagaimana?

==== *** ====

Mega masih bergelut dengan setumpuk kertas kerjanya, saat tiba – tiba Eternal Flame mengalun dari ponsel NOKIA putih miliknya.
Layar LCD merekam sebuah nama yang membuatnya tersenyum begitu manis. “Mutiara_Hati”.
Dengan sigap Mega menekan tombol berwarna hijau, “Assalamu’alaikum.... dalem, Bu ?

“Ini bapak, nduk... ibumu lagi nemenin Andira belajar. Bapak kangen, piye kabarmu?” sebuah suara teduh dan berwibawa meluncur dari seberang. Betapa sosok pemilik suara ini begitu dirindukan Mega. Bapak yang terlanjur menjadi idola sekaligus tangga – tangga mimpi baginya.
“Alhamdulillah sae, Pak.. Bapak, Ibu, Dira gimana?”


“Semua di sini juga alhamdulillah sehat. Adekmu tambah nakal aja, dah mulai tahu baju bagus. Bawaannya pengen belanja aja tiap hari.” bapak berujar sembari diselingi tawa renyah khasnya.
“Gimana kuliahmu? Bapak sama ibu belakangan sering kepikiran kamu. Kamu bener baik – baik aja to, nduk?” ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan bapak yang terakhir.
“Mega sehat – sehat aja kok, pak.. . Memang tugas akhir – akhir ini tambah banyak, tapi dinikmatin aja. Kan bapak yang sering bilang, ndak perlu ngoyo yang penting niat dan tekun untuk mencapai tujuan!” Mega menimpali sambil tersenyum. Anak dan bapak ini, larut dalam renyah tawa dan keakraban yang begitu menyejukkan.
Bapak menyudahi obrolan malam itu dengan sebuah kalimat yang membuat Mega tak mampu berkata – kata. Kalimat yang begitu jarang ia dengar dari lisan lelaki keras yang begitu ia sayangi ini.
“Ya wes, baek – baek di sana ya, nduk... Jaga diri... Bapak sayang kamu.....”
Deg! Betapa bergetar hati Mega saat itu. Haru dan kebahagiaan bercampur, membuncah dari dirinya. Kalimat yang tak pernah ia sangka itu, meluncur demikian indahnya. Ternyata seucap kata tentang cinta, ada kalanya memang perlu terlisankan. Keduanya terdiam cukup lama, hingga akhirnya...
“Mega juga sayang Bapak.... ” air mata kelegaan mengalir deras di pipi gadis itu.

Jam duduk bergambar conan menunjukkan pukul 21:30. Tempat tidur Ratna teman sekamar Mega masih kosong. Itu artinya dia belum pulang. Karna tak biasanya tempat tidur itu tak berpenghuni di jam – jam seperti ini. Ratna tipe orang yang tak bisa tidur terlalu malam. Sangat berbeda dengan Mega yang hobi memejamkan mata berbarengan dengan kentongan petugas ronda yang berbunyi hingga dua belas kali.
Ada kekhawatiran di hati Mega. Tak ada kabar ataupun sms dari Ratna tentang keberadaannya malam ini.
Berselang sekira 10 menit, keresahan Mega terjawab, sebuah pesan singkat dari nomor asing masuk.
Ga,tlg jmpt. Aq di dpan stsiun”
Singkat. Mega coba menghubungi balik nomor tadi. Tak ada respon maupun jawaban. Segera ia sambar jilbab dan jaket dari almari sekenanya. Tugas dan kertas – kertas yang berserakan di mejanya ia lupakan dan tinggalkan beitu saja. Sepertinya kekhawatirannya membuat ia lupa bahwa sang dosen tlah menanti hasil kerjanya esok hari. Ia percepat langkah menuruni anak tangga, karena dengan angkutan umum tentunya butuh waktu lebih lama mencapai stasiun. Kenapa Ratna minta dijemput? Bukannya dia bawa motor? Pertanyaan – pertanyaan itu terus berseliweran di benaknya.


===== *** =====

Dari jendela angkot, Mega mencoba menangkap sebuah bayangan gadis berjilbab yang berdiri di samping pintu masuk stasiun. Tak salah lagi itu Ratna. Setelah memberikan ongkos pada sopir, Mega berlari kecil menghampiri Ratna. “Assalamu’alaikum.... ada apa to, Na?” ucapan Mega dibalas dengan sebuah pelukan dari Ratna. Sambil mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf berulang kali, Ratna bercerita. Ternyata selepas mengantar seorang kawan ke stasiun ba’da Maghrib tadi, ban motornya pecah. Tas yang berisi dompet dan ponsel miliknya tertinggal di kos kawan yang baru saja diantarnya pulang tadi. Sms yang dia kirim pada Mega pun, ternyata menggunakan ponsel milik seorang wanita murah hati yang tiba – tiba menghampirinya saat ia kebingungan tadi.
“Oalah... ya wes, motormu sekarang sudah selesai belum? Habis ini kita langsung maem aja ya, pasti kamu belum maem kan?” ujar Mega sambil mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
“Hehehe... iya, makasih banget ya, Mega..”sekali lagi sebuah pelukan dan ciuman mendarat di pipi Mega.
Mega dan Ratna saat ini telah duduk berhadapan di sebuah warung lesehan favorit mereka. Keduanya sama – sama menunggu lalapan lele. “Sekali lagi thanks banget ya, Ga.... Aku gak bisa bayangin gimana kalo gak ada kamu....” Ratna tuk kesekian kalinya mengucapkan kalimat yang sama.
“Kamu bilang kayak gitu lagi, dapat mangkuk cantik plus mas – mas yang nglayani kita tadi, lho!” Mega menimpali diikuti tawa keduanya.
“Aku minta maaf ya.... Siapa tahu, aku gak bisa bantu kamu lagi, Na... ” ucapan Mega yang terakhir ini, membuat keduanya langsung terdiam. Ratna mencoba menterjemahkan apa makna dari kalimat yang barusan terucap dari lisan Mega. Mega sendiri pun sebenarnya kebingungan, dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Kalimat itu seperti hadir dari alam bawah sadarnya. Dan sepertinya mereka memilih tidak mempermasalahkan kalimat itu. Terlebih, pesanan lalapan lele mereka telah hadir.
Di perjalanan pulang, Mega sengaja menyuruh Ratna bonceng di belakang. Ingin menikmati suasana kota di malam hari katanya. Sepanjang perjalanan, mereka tak berhenti bercerita. Ratna yang paling sering mengusik Mega dengan pertanyaan, siapa pujaan hatinya. Dan lagi – lagi Mega slalu menjawab dengan senyum, “Nanti kamu juga akan tahu sendiri, doain aja ya....”
Hingga sinar yang begitu menyilaukan itu menghantam pandangan mereka. Dan... dimulailah kisah baru...

===== *** =====

Kupu – kupu menari indah menyibak subuh
tersenyumkah... menangiskah.... ?
Demi sebuah kisah di ujung gulita malam
ditemani rinai gerimis pada sebuah jiwa
tersenyumkah... menangiskah.... ?
Semesta gulana, guratkan asa yang hilang dari memula
elok senja tak lagi punya makna
tersenyumkah ... menangiskah.... ?
Saat kembang tak lagi mekar dan mewangi dalam sunyi
perlahan terpoles serupa duka tentang sebuah diri
Kini kutahu, ia tak tersenyum...
Kini kutahu, ia tak menangis...
Ia hanya terdiam.....

===== *** =====

Aku masih terdiam di sudut kamar, saat perlahan kudengar adzan Subuh mengalun. Bantal yang kurasakan telah basah oleh air mata, membuatku semakin tak ingin beranjak. Ingin rasanya aku tak terjaga dari tidurku semalam. Perjumpaanku dengan sesosok bidadari surga membuatku merasa dunia ini benar - benar semu adanya. Ah... mimpiku semalam benar – benar indah. Bilamana akan benar – benar kuraih dirinya. Di duniakah ? Atau kelak di sana ? Kuyakini, hanya sujud – sujudku nanti yang mampu menjawabnya. Kulangkahkan kakiku menuju tempat wudhu.
===== *** =====

Assyifa Mega Nanda. Sebuah nama yang tertulis jelas di hadapku kini, benar – benar membuatku mematung. Hatiku beku. Tak kalah hebat saat pertama kali kudengar kabar tentangnya 2 hari yang lalu. Malam yang sunyi dan dingin kala itu, menjadi saksi tentang menyeberangnya sebuah jiwa pada dunia yang berbeda. Bidadari berjilbabku itu, kini tak mampu lagi kunikmati senyumnya, kudengar merdu suaranya, kuamati santun dan mulia lakunya. Aku kehilangannya di dunia. Terlebih saat aku tlah meyakini bahwa aku memang mencintainya. Mencintai seorang gadis yang sengaja tak kubiarkan untuk tahu tentang hatiku demi alasan sebuah penjagaan hati.
Malam itu, sebuah truk yang mengangkut kayu oleng dan menyenggol motornya dari arah depan. Mega sudah berusaha menghindar, tapi kehadiran truk dari balik tikungan yang cukup tajam, membuat ia juga tak kuasa mengendalikan motornya. Serentak ia banting setir ke arah kiri dan motor pun terjatuh ke sebuah parit mati. Ratna yang berada di belakang, selamat. Kaki kirinya patah karena terjatuh dari motor cukup jauh. Itupun setelah Mega sempat meneriakkan kepadanya untuk segera loncat. Menurut Ratna, kemungkinan Mega menghembuskan nafas terakhirnya di lokasi kejadian. Karena saat terlempar dari motor, helm yang dikenakan Mega terlepas. Anehnya, tak ada sedikitpun darah atau luka di tubuh Mega. Mungkin ia mengalami luka atau pendarahan di dalam karena benturan, begitu menurut dokter. Ratna juga bercerita, bahwa jenazah Mega tersenyum, benar – benar tersenyum.
Tanah merah dan batu nisan di depanku kini mungkin bertanya, mengapa aku masih saja terdiam sedari tadi. Air mata bak pancuran yang begitu deras selayaknya mengalir dari mataku yang nanar. Namun aku tak kuasa. Aku tak mampu. Kurasakan air mata itu kini justru membasahi hatiku. Menyisakan kubangan kesedihan yang tak kunjung mengering. Inikah rasanya kehilangan ?
Ataukah semua akan menjadi berbeda saat aku ikuti saran Setyo sedari dulu untuk mengungkapkan perasaanku padanya? Sekedar membuatnya tahu, tak lebih.....
Semerbak aroma kamboja membuatku tersadar, bahwa siklus kehidupan akan terus berjalan. Lahir, tumbuh, lalu mati. Seperti bunga – bunga itu yang kini berguguran di tanah.
Ya Robbi... maafkan aku yang lancang menghakimi dan menilai takdir-Mu. Perjuanganku tak akan berhenti di sini. Akan terus kupacu jiwa dan ragaku, untuk menemuinya di surga kelak. Sebagai bidadari penyanding kehidupan abadiku.
Sebelum beranjak dari tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan untuk membuat sebuah pengakuan di atas batu nisannya.
Mega.... aku, Awan Arga Qowiyyu, mencintaimu......”
Read more ...»